Rabu, 25 Mei 2016

ENERGI TERBARUKAN LIMBAH KELAPA SAWIT





Energi terbarukan bukan cerita indah. Renewable energy is not a romantic story anymore. Kalimat itu diucapkan Direktur Eksekutif Internasional Energy Agency Fatih Birol di sela-sela acara Bali Clean Energy Forum 2016, pekan lalu di Nusa Dua Bali, energi terbarukan adalah sebuah keniscayaan.

Selama dua hari, 11-12 Februari 2016, lebih dari 2.300 orang menghadiri Bali Clean Energy Forum (BCEF) 2016 yang diselenggarakan Kementerian ESDM bekerja sama dengan International Energy Agency (IEA). Sejumlah delegasi dari 27 negara dilaporkan hadir di acara tersebut. Topik utama dibahas di forum ini adalah bagaimana mendorong pemanfaatan energi terbarukan, khususnya di Indonesia.

Dalam forum itu pula, sejumlah pembicara dan delegasi saling bertukar pengalaman mengenai pengembangan energi terbarukan di setiap negara. Pengalaman itu menyangkut panggunaan teknologi ataupun mekanisme pembiayaan. Bahkan, melalui BCEF 2016, dihasilkan deklarasi yang ditandatangani delegasi dari 19 negara.

Dekalarasi itu antara lain menyebutkan, anggota negara yang menandatangani deklarasi akan bekerja sama secara aktif dengan Indonesia. Kerja sama itu meliputi berbagi pengalaman di bidang energi terbarukan yang menyangkut teknologi dan pembiayaan, peningkatan sumber daya manusia, serta upaya mendorong kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta di bidang ini.

Kementerian ESDM juga sepakat menunjuk Bali sebagai pusat percontohan dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Di Jembrana Bali didirikan semacam pusat studi  untuk pengembangan energi terbarukan yang disebut Center of Excellence. Dalam lima tahun ke depan, ditargetkan 90 persen energi yang dipakai di bali berasal dari energi terbarukan.

Sebagaimana disebutkan, hal-hal yang disepakati dalam  forum di Bali tersebut merupakan sebuah langkah maju setelah pertemuan di Paris, Perancis, akhir tahun lalu, yang membahas perubahan iklim. Indonesia terbilang aktif dan berkomitmen mengurangi emisi. Dalam 15 tahun mendatang, Indonesia berkomitmen mengruangi emisi sebanyak 29 persen dengan usaha sendiri. Ditambah bantuan negara lain, emisi yang dikurangi bisa mencapai 41 persen.

Tampaknya, BCEF  2016 semakin melengkapi forum, seminar, dan diskusi tentang energi terbarukan yang sudah ada sebelumnya.

Lalu, apa selanjutnya? Kerja keras, konsistensi dan dukungan semua pihak. Pengembangan energi terbarukan akan mengahdapi tantangan harga energi fosil yang rendah, seperti minyak dan batubara. Di Indonesia, pengembangan energi terbarukan menghadapi sejumlah kendala klasik, yaitu birokrasi yang berbelit, perizinan yang rumit, dan komitmen pemerintah sendiri lewat pemberian insentif bagi pengembang.

Kendala kerumitan di atas banyak dialami pengembang tenaga panas bumi untuk listrik. Belum lagi regulasi tarif energi terbarukan yang belum ada kepastian. Menteri ESDM Sudirman Said berjanji memebnahi sejumlah regulasi di sektor energi terbarukan serta meningkatkan kerja sama untuk mengatasi masalah teknologi dan pembiayaan di sektor energi terbarukan.

Kini, yang ditunggu adalah semoga semangat dan janji dari Bali tersebut segera diwijudkan seperti yang sering dikatakan Sudirman, energi terbarukan bukan lagi energi alternatif, tetapi harus menjadi pilihan utama. Waktu yang akan membuktikan, apakah janji dari bali akan terealisasi atau hanya sekedar janji yang menjadi mimpi.

Limbah Kelapa Sawit Bisa Kurangi Efek Rumah Kaca

Penelitian untuk mengurangi emisi gas rumah kaca terus dilakukan, salah satu caranya dilakukan dengan mengolah limbah kelapa sawit menjadi sumber energi terbarukan berbentuk biogas.

Berdasarkan hasil riset, saat ini kita sudah mampu mengolah limbah kelapa sawit yang akan  mampu mengurangi efek gas rumah kaca.

Upaya ke depan adalah  dengan cara mengembangkan energi terbaru biogas dari limbah kepala sawit. Semua limbah (waste) dari kelapa sawit nantinya bisa dihasilkan menjadi listrik, uap, dan pupuk. Selama ini limbah kelapa sawit hanya dibiarkan begitu saja sehingga menyebabkan pemanasan global. Kondisi ini bisa dikembangkan menjadi biogas yang bermanfaat,  apalagi metode ini bisa menjadikan nilai tambah bagi perkebunan kelapa sawit, menjadi bisnis yang cukup strategis dan menyerap banyak tenaga kerja.

Dalam pengembangan biogas ini, pengolahan limbah kelapa sawit untuk PKS dengan kapasitas 60 ton TBS per jam hanya mampu menghasilkan daya 2 megawatt (MW),
Pemerintah sangat mendukung adanya pengolahan energi biogas semacam ini, pada 2019 kebutuhan energi di tanah air mencapai 2 juta barel per tahun yang berarti membutuhkan sekitar 5,5 barel per hari. Produksi minyak kita baru 0,8 barel per hari. Jika kita mengandalkan energi konvensional pasti akan berat, maka 2 juta barel tersebut bisa terpenuhi dengan adanya renewable energy dari biogas.


Selasa, 24 Mei 2016

BIODIESEL TERPELESET HARGA MINYAK



BIODIESEL TERPELESET  HARGA MINYAK


Mimpi pemerintah untuk mengurangi konsumsi bahan bakar nabati terancam berantakan. Memang, pemerintah menetapkan program mandatori atau kewajiban mencampur bahan bakar minyak (BBM) dengan biodiesel sebanyak 15% atau B15 sejak awal tahun ini. Tapi, pelaksanaannya lamban sehingga penjualan biodiesel sepanjang semester pertama tahun ini jeblok. Pengusaha biodiesel tak memiliki pasar alternatif atas produk ini. Padahal, pasar alternatif ini sangat penting di saat pasar utama ekspor sedang sepi. Sementara permintaan dalam negeri masih minim.

Produsen biodiesel justru menilai bahwa penurunan harga minyak dunia yang terjadi di awal semester kedua tahun ini bakal menambah suram industri biodiesel. Biodiesel semakin tak menarik di pasaran karena penurunan harga minyak bisa membuat harga solar makin murah. Konsumen beralih ke solar. Terutama negara yang tidak terlalu mementingkan lingkungan hidup seperti China dan India yang sejatinya merupakan pasar utama biodiesel Indonesia.

Penjualan biodiesel pada kuartal pertama tahun ini mencapai 200.000 kl. Kondisi memburuk di kuartal II-2015 setelah pasar ekspor meredup dan pasar domestik terhenti setelah Pertamina tak lagi menyerap biodiesel sejak bulan Maret. Alhasil, sepanjang April – Juni tahun ini nyaris tak ada penjualan biodiesel.

Angka 200.000 kl hingga paruh pertama tahun ini menjadi pukulan telak bagi produsen biodiesel karena pada tahun ini target penjualan biodiesel sudah ditetapkan sebanyak 1,6 juta kl untuk domestik dan ekspor. Produsen biodiesel kini ramai-ramai berharap agar produknya bisa diserap pasar domestik setelah program pungutan dana ekspor minyak kelapa sawit atau CPO mulai bergulir sejak 16 Juli 2015 tahun lalu.

Kebutuhan solar dalam negeri mencapai 34 juta kl per tahun. Berarti, biodiesel yang bisa diserap 5,1 juta kl per tahun.
  
Industri ini bisa berkembang asalkan pemerintah tegas menerapkannya. Jika pemerintah tegas dan konsisten menegakkan pemanfaatan dana pungutan CPO, tidak ada lagi alasan Pertamina untuk tidak menyerap produksi biodiesel dalam negeri.

Program dana dukungan  kelapa sawit atau CPO Supporting Fund telah diagendakan untuk membiayai subsidi biodiesel. Dan ini menutup selisih harga biodiesel yang lebih mahal ketimbang solar sehingga bisa dijangkau masyarakat.

Rencananya, dari target pengumpulan dana CPO Fund tahun ini senilai Rp 4,5 triliun sekitar 30% diantaranya akan digunakan untuk subsidi biodiesel. Porsi ini memang masih lebih rendah porsi 60%-70% yang akan dialokasikan pemerintah untuk peremajaan kebun sawit rakyat.


NEGARA EROPA SEPAKAT MEMERLUKAN MINYAK SAWIT INDONESIA



EROPA SEPAKAT MEMERLUKAN SAWIT INDONESIA

Paparan delegasi Indonesia dalam konferensi sawit Eropa, European Palm Oil Conference (EPOC) 2015, membuahkan hasil. Konferensi tersebut menyimpulkan bahwa mengganti sawit dengan minyak nabati lainnya belum tentu lebih baik bagi kesehatan, bahkan bisa berdampak lebih buruk dari aspek lingkungan.


Pemaparan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPS) pada EPOC di Milan, 29 Oktober 2015, secara tegas menyatakan bahwa sawit Indonesia di kelola berdasarkan prinsip-prinsip lingkungan berkesinambungan dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan para petani sekaligus menjaga keamanan bahan pangan bagi Indonesia maupun dunia.

Dalam 35 tahun ke depan saat penduduk dunia mencapai 9,6 miliar orang maka kebutuhan minyak nabati di dunia sebesar 20 juta ton per tahun, saat itu minyak sawitlah yang secara efesien yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut mengingat kebutuhan lahan sawit saat itu hanya sekitar 52 juta hektare (ha). “Hal ini mengingat efesiensi lahan sawit yang penggunaannya hanya kurang dari sepertiganya dibanding kebutuhan lahan minyak nabati lain seperti rapeseed maupun minyak kedelai,” 

Eropa merupakan pasar utama bagi sawit Indonesia. Pada 2014 telah mencapai sekitar 3,09 juta ton dengan pintu masuk utama melalui Belanda dan Italia. Eropa merupakan pasar ketiga terbesar setelah ke India 3,87 juta ton dan ke Tiongkok 3,2 juta ton.

Komitmen Indonesia untuk menjalankan prinsip perkebunan yang berkesinambungan. Hal ini dibuktikan bahwa 51% dari 2,56  juta ha lahan sawit di dunia yang bersertifikasi CSPO adalah lahan di Indonesia. Peningkatan jumlah lahan bersertifikasi di kalangan petani mencapai  345% yakni 145 ribu ha lahan yang dimiliki lebih dari 50 ribu petani pada akhir Oktober tahun lalu.

Menyinggung yang menjadi perhatian konsumen di Eropa, dapat dijelaskan bahwa kandungan minyak kelapa sawit yang mempunyai kandungan minyak yang baik dalam darah (HDL) selain tidak adanya aturan dari pemerintah manapun yang melarang penggunaan minyak sawit sebagai bahan makanan. Bayu juga menuturkan manfaat minyak sawit yang di gunakan untuk program fortifikasi vitamin A di Indonesia yang telah menurunkan tingkat defisiensi vitamin A sebanyak 18% bagi anak di bawah 5 tahun dan 11% dikalangan ibu menyusui.

Terkait kebakaran lahan dan gangguan asap di Indonesia, dari data yang menyebutkan 1,7 juta ha terbakar, hanya terdapat 10-20% lokasi di sekitar lahan sawit yang terbakar. Ini jauh lebih kecil di banding angka kebakaran yan terjadi di Kanada yang mencapai 3 juta ha  maupun USA 3,4 juta ha. “Masyarakat sawit Indonesia sangat terbuka untuk bekerja sama dengan pihak-pihak yang mempunyai teknologi mutakhir untuk pencegahan dan pemadaman lahan yang terbakar”

Kesimpulan konferensi yang oleh Frans Claasen, pimpinan EPOA, pada penutupan konferensi EPOC 2015 yang menyebutkan bahwa mengganti sawit belum tentu menjadikan lebih bagi solusi kesehatan tetapi bisa jadi akan memburuk dampak lingkungan. Karena itu, memboikot sawit bukan merupakan solusi untuk masalah lingkungan. Kesimpulan itu merupakan kemajuan besar dalam menjawab kampanye negative terhadap sawit Indonesia.